29 May 2007

ZUHUD


Ada empat tipe manusia berkaitan dengan harta dan gaya hidupnya :
Pertama, orang berharta dan memperlihatkan hartanya. Orang seperti ini biasanya mewah gaya hidupnya, untung perilakunya ini masih sesuai dengan penghasilannya, sehingga secara finansial sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, ia akan menjadi hina kalau bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tak selevel dengan dia. Apalagi kalau bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat atau mengeluarkan sedekah. Sebaliknya, ia akan terangkat kemuliaannya dengan kekayaannya itu jikalau ia rendah hati dan dermawan.
Kedua, orang yang tidak berharta banyak, tapi ingin kelihatan berharta. Gaya hidup mewahnya sebenarnya diluar kemampuannya, hal ini karena ia ingin selalu tampil lebih daripada kenyataan. Tidaklah aneh bila keadaan finansialnya lebih besar pasak daripada tiang. Nampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Ketiga, orang tak berharta tapi berhasil hidup bersahaja. Orang seperti ini tidak terlalu pening dalam menjalani hidup karena tak tersiksa oleh keinginan, tak ruwet oleh pujian dan penilaian orang lain, kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dengan menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun tetap juga berpeluang menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menunjukan berharap dikasihani, tak menunjukan kemiskinannya, tegar, dan memiliki harga diri.
Keempat, orang yang berharta tapi hidup bersahaja. Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Dia mampu membeli apapun yang dia inginkan namun berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya, hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki orang lain, dan tertutup peluang menjadi sombong, serta takabur plus riya. Dan yang lebih menawan akan menjadi contoh kebaikan yang tidak habis-habisnya untuk menjadi bahan pembicaraan. Memang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta tapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir). Sungguh ia akan punya pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya dan lebih berharga dibanding seluruh harta yang dimilikinya, subhanallaah.
***
Perlu kita pahami bahwa zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, semacam harta benda dan kekayaan lainnya, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangan makhluk. Bagi orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun harta yang dimiliki, sama sekali tidak akan membuat hatinya merasa tenteram, karena ketenteraman yang hakiki adalah ketika kita yakin dengan janji dan jaminan Allah.
Andaikata kita merasa lebih tenteram dengan sejumlah tabungan di bank, saham di sejumlah perusahaan ternama, real estate investasi di sejumlah kompleks perumahan mewah, atau sejumlah perusahaan multi nasional yang dimiliki, maka ini berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seberapa banyak saham pun yang dimiliki, sebanyak apapun asset yang dikuasai, seharusnya kita tidak lebih merasa tenteram dengan jaminan mereka atau siapapun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali ijin Allah. Dia-lah Maha Pemilik apapun yang ada di dunia ini.
Begitulah. Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak mejadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita, dan bahkan, lebih tahu dari kita sendiri.
Ada dan tiadanya dunia di sisi kita hendaknya jangan sampai menggoyahkan batin. Karenanya, mulailah melihat dunia ini dengan sangat biasa-biasa saja. Adanya tidak membuat bangga, tiadanya tidak membuat sengsara. Seperti halnya seorang tukang parkir. Ya tukang parkir. Ada hal yang menarik untuk diperhatikan sebagai perumpamaan dari tukang parkir. Mengapa mereka tidak menjadi sombong padahal begitu banyak dan beraneka ragam jenis mobil yang ada di pelataran parkirnya? Bahkan, walaupun berganti-ganti setiap saat dengan yang lebih bagus ataupun dengan yang lebih sederhana sekalipun, tidak mempengaruhi kepribadiannya!? Dia senantiasa bersikap biasa-biasa saja.
Luar biasa tukang parkir ini. Jarang ada tukang parkir yang petantang petenteng memamerkan mobil-mobil yang ada di lahan parkirnya. Lain waktu, ketika mobil-mobil itu satu persatu meninggalkan lahan parkirnya, bahkan sampai kosong ludes sama sekali, tidak menjadikan ia stress. Kenapa sampai demikian? Tiada lain, karena tukang parkir ini tidak merasa memiliki, melainkan merasa dititipi. Ini rumusnya.
Seharusnya begitulah sikap kita akan dunia ini. Punya harta melimpah, deposito jutaan rupiah, mobil keluaran terbaru paling mewah, tidak menjadi sombong sikap kita karenanya. Begitu juga sebaliknya, ketika harta diambil, jabatan dicopot, mobil dicuri, tidak menjadi stress dan putus asa. Semuanya biasa-biasa saja. Bukankah semuanya hanya titipan saja? Suka-suka yang menitipkan, mau diambil sampai habis tandas sekalipun, silahkan saja, persoalannya kita hanya dititipi.
Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah. Dan hendaknya engkau bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu." (HR. Ahmad).***

Note: diambil dari e-book Kumpulan Tausyiah Aa Gym karya Hamba Allah
Download e-booknya?? nih aagym.chm

Seperti Keledai Yang Membawa Kitab-Kitab

Saya memandang deretan buku-buku yang saya miliki. Saya memandangnya sambil mengerinyitkan dahi dan merenung sejenak. Setiap bulan saya membeli satu-dua buku, yang memang telah saya anggarkan sebelumnya. Sehingga pada saat ini sudah terkumpul ratusan buku, mulai dari non-fiksi hingga fiksi. Saya memiliki keinginan yang sangat kuat untuk mempunyai sebuah perpustakaan besar berisikan buku-buku bermutu.

Kadang saya membeli buku tapi buku itu tidak langsung saya baca atau paling tidak, sedikit saya baca. Saya tidak menganggap membeli buku sebagai suatu hal yang merugikan, bahkan ia adalah investasi jangka panjang untuk saya. Suatu waktu buku-buku itu saya baca dan menjadi bahan kepustakaan dari tulisan yang saya buat. Dari tulisan itu kemudian saya kumpulkan dan jadilah sebuah buku. Dari buku itu saya mendapat penghasilan tambahan.

Tapi saya sadar, seolah ada beban berat yang menghimpit punggung saya. Saya mengetahui suatu hal, insya Allah saya mendapat pahala dari pencarian ilmu tersebut. Tapi itu belum cukup, ada konsekuensi yang harus saya jalani setelah saya mendapatkan ilmu, yaitu mengamalkannya. Itulah yang menjadi beban saya. Seringkali saya merasa lemah untuk mengamalkan sebuah ilmu, padahal dari sana saya akan mendapat “ilmu baru” yang oleh para ulama sebut sebagai “hikmah”. Seorang ulama pernah mendefinisikan “hikmah” sebagai hasil dari perpaduan antara ilmu dan amal. Orang tidak mungkin mendapatkan hikmah shalat khusyu, sebelum ia sendiri shalat dengan sempurna. Orang tidak mungkin mendapatkan hikmah puasa sebelum ia sendiri berpuasa. Itulah yang menjadi penyebab mengapa peradaban Islam terus berkembang di masa lalu, yaitu berhasil memadukan antara ilmu (theory) dan amal (practic).

Di dalam Islam, ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep “fasiq”, di mana seorang yang – meskipun berilmu tinggi – tetapi berbuat jahat, dapat terkena ketegori fasiq, dan karena itu, periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi. Jika dia fasiq, maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan.

Di dalam ilmu hadits, ada ilmu Jarah wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya. Karena itu, di dalam tradisi keilmuan Islam, kita akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Itu bisa kita jumpai pada Imam-imam mazhab, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah.

Tradisi seperti itu tidak terjadi dalam sistem keilmuan di Barat yang sekular. Di dalam tradisi ilmu yang berakar pada tradisi keilmuan Yunani, ada pemisahan antara orang pintar dan orang saleh.

Banyak ilmuwan pintar dan dihormati oleh masyarakatnya, meskipun amalnya bejat. Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting madman). Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens.

Ernest Hemingway, seorang ilmuwan jenius dan peraih Nobel Sastra tahun 1954, tidak memiliki agama yang jelas dan ia ditemukan mati bunuh diri. Foucoult, ilmuwan yang sangat dikagumi aktivis Islam Liberal, adalah ilmuwan yang suka main perempuan dan mabuk-mabukan.
Islam jelas sangat berbeda dengan agama yang lain, misalnya Yahudi. Islam sangat menghargai orang yang menuntut ilmu sekaligus orang yang mengamalkannya. Di dalam agama Yahudi, mempelajari ilmu itu memang suatu kewajiban bagi mereka, sehingga sangat banyak orang-orang Yahudi luar biasa cerdasnya, sebut saja, misalnya, Albert Einstein. Namun mereka kerap tidak mengamalkan ilmu yang mereka miliki untuk kebaikan. Mereka mengetahui Taurat, tetapi mereka tidak mengamalkannya.

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. Al-Jumu'ah [62]: 5).

Yang dimaksud dengan "tiada memikulnya" pada ayat di atas adalah, tidak mengamalkan isi Taurat. Dalam ayat itu juga Allah mengibaratkan mereka seperti "keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." "Keledai" identik dengan binatang yang bodoh, lamban, dan ia bertambah lamban ketika membawa kitab-kitab yang tebal. Kitab-kitab itu sendiri berisi ilmu pengetahuan yang bermanfaat, namun karena yang membawanya bersifat buruk, jadinya ilmu itu menjadi tidak bermanfaat baginya. Ilmu itu hanya untuk ilmu itu sendiri. Mereka berkutat pada bentuk-bentuk lahiriah semata. Dan inilah yang mengakibatkan mereka menjadi penganut paham materialisme. Semoga kita terhindar dari yang demikian itu.

Dari : http://www.eramuslim.com/

17 May 2007

Sikap Hati-Hati Dan Anak Sholeh

Saya mempunyai seorang teman yang dalam kehidupan kesehariannya sangat hati-hati terhadap apa yang ia kerjakan. Apa yang ia lakukan selalu berpedoman kepada suatu kalimat yang ia pegang: "Allah ridla apa tidak dengan tindakan saya?"
Terus terang saya mengaguminya. Saya ingin menirunya. Namun betapa berat saya mencoba mengikuti langkah-langkahnya. Bicaranya yang sederhana. Penjagaannyaterhadap mata dan telinganya dari sesuatu yang mendatangkan dosa. Sampai-sampai sesuatu yang sangat sederhanapun, ia selalu mengingat bagaimana cara Nabi melakukannya.
Suatu saat saya bertanya padanya. Kenapa engkau bisa seperti itu? Dia menjawab enteng. " Yaa, ini semua bukanlah karena saya, mungkin karena doa orang tua saya." Saya hanya mengangguk-angguk.
Terlintas di pikiran saya tentang sosok orang-orang alim. Sosok orang-orang yang hidupnya telah menyerahkan bulat-bulat kepada Allah SWT. Para Nabi, Sahabat Rasul, dan kekasih-kekasih Allah yang lain. Banyak dari beliau-beliau ini yang mendapat derajat sangat dekat dengan Allah, bukan hanya karena upayanya sendiri, tapi tempaan, didikan, suatu amalan yang konsisten dan langgeng atau munajat orang tuanya kepada Ar-Rabbul Jalil. Sehingga lahirlah anak-anak shaleh.
Saya jadi penasaran dengan orang tua laki-laki ini. Amalan seperti apa yang ia kerjakan sehari-hari selain yang di wajibkan? Doa seperti apa yang ia panjatkan padaNya sehingga melahirkan sosok yang menurut saya adalah termasuk kriteria shaleh ini?
Suatu saat, ketika saya ada kesempatan pulang dari rantau, saya temui orang tua laki-laki ini. Bahkan saya menginap di rumahnya. Saya banyak ngobrol dengannya. Ingin sekali rasanya menimba ilmu dari orang tua yang telah melahirkan profil seperti teman saya itu.
Ternyata beliau ini orang sederhana saja. Seperti kebanyakan orang -orang kampung lainnya. Tak ada sesuatu keistimewaan yang menonjol dari dirinya.
Namanya pak Salim. Ia lebih dikenal orang-orang daerah itu Salim Tempe. Karena ia seorang penjual tempe. Waktu subuh, Maghrib dan Isya, sudah dipastikan ia ada di mushola kampung itu. Sebab ia lebih sering ditunjuk untuk menjadi imam sholat. Walaupun ia sendiri bukanlah imam tetap mushola tersebut.
Namun, walaupun ia orang biasa-biasa saja, bukan ustadz bukan kyai, bukan alumni pesantren apalagi lulusan perguruan tinggi Islam, akan tetapi ada beberapa hal yang membuat beliau ini jadi luar biasa. Paling tidak menurut saya. Dan anehnya, oleh masyarakat sekitar dianggap sesuatu yang tidak umum dan wajar. Memang di zaman ini, jika ada seseorang yang ingin mencoba menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dianggapnya sebuah keanehan.
Yang pertama, kalau ada pilkades di desanya, ia selalu menolak diberi uang oleh para calon kades, karena ia takut itu suap. Dan ia tahu bahwa, yang menyuap dan yang disuap sama-sama masuk neraka. Maka ia selalu mengingatkan keluarganya jangan sampai mau menerima uang tersebut walaupun sekecil apapun. Sebab di banyak daerah, praktek mendapatkan 'suara' dengan iming-iming uang masih banyak berlaku
Yang kedua, dia selama hidupnya, tidak pernah menyimpan uang di sebuah tempat yang bernama bank konvensional. Sebab ia juga takut, bunga yang ada di dalam lembaga keuangan itu termasuk dalam riba. Sedang ia tahu bahwa riba itu dosa. Ia punya pendapat lebih baik menyimpan uangnya di bawah bantal atau di bawah tikar tidur. Sehingga ketika anaknya dari luar negri mengirimkan uang, ia cepat-cepat mengambilnya, ia takut jadi berbunga-bunga. Ia menggunakan bank sebagai alattransfer saja.
Saya jadi mempunyai sebuah dugaan, barangkali amalan orang tua itulah yang membuat teman saya sangat kuat memegang rambu-rambu agama. Saya tidak sedang mengkultuskan keturunan, tapi sikap kehati-hatian orang tua terhadap hukum-hukum Allah, ternyata sangat menentukan keturunannya.
Dan sejarah mencatat juga, ada seorang perempuan penjual susu. Setiap kali mencampur susu dengan air ia sangat hati-hati. Bahkan setelah mengingat bahwakelak semua yang dilakukan manusia, akan dihisab, ia mengurungkan untuk mencampur susu itu dengan berlebihan. Ia takut susu itu hilang kemurniannya. Sehingga dapat membohongi si pembeli. Dan dengan sikap kehati-hatian perempuan itulah, Allah mengaruniakan seorang anak shaleh. Yang ahirnya ketika tumbuh besar menjadi sosok yang luar biasa. Sosok itu adalah Umar bin Abdul Aziz. Siapa tak kenal khalifah zuhud ini?
Akhirnya, suatu saat saya bertanya kepada diri sendiri. Mampukan saya menjaga kehati-hatian terhadap sesuatu yang sederhana, tapi ternyata betapa besar nilainya di hadapan Allah SWT? Dan mampukah saya bertindak seperti mereka demi menghasilkan anak yang shaleh, sebagai investasi abadi?
Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban dengan konsekwensi perjuangan yang luar biasa.
Dari : http://www.eramuslim.com/atk/oim/4428a335.htm

download file format Ms. Word
004 Sikap Hati-Hati dan Anak Sholeh.doc